Pernikahan Sirri



        Pernikahan sirri atau yang sering kita sebut dengan pernikahan dibawah tangan sekarang ini menjadi perbincangan dikalangan masyarakat. Sering kita lihat di media telivisi maupun cetak, infotainment dan siaran berita telivisi, ramai memperbincangkan masalah nikah sirri atau dibawah tangan, para pelaku yang menjadi sorotan media merupakan sosok yang menjadi public figur dan orang terpandang, terutama didunia para artis, pejabat negara maupun pengusaha.
Dizaman yang serba modern sekarang ini banyak sekali kita jumpai pasangan yang lebih memilih untuk melakukan nikah sirri/nikah dibawah tangan terutama untuk kalangan kelas menengah ke bawah. Hal tersebut dipengaruhi dengan keterbatasan pengetahuan mengenai hukum, akibat yang akan ditimbulkan, serta masalah biaya. Sedangkan untuk kalangan menengah ke atas mendalihkan takut akan dosa dan zina dan alasan lainnya. Contohnya yang sering kita lihat di televisi, banyak

Artinya: “Wanita mana pun yang menikah tanpa mendapat izin walinya, maka pernikahannya batil; pernikahannya batil; pernikahannya batil[5].

diantara artis-artis ibu kota yang melakukan nikah sirri dan ketika pernikahan itu terjadi maka dari pihak perempuan (istri) tidak bisa berbuat apa-apa karena pernikahan itu illegal (tidak tercatat oleh hokum negra), sehinga dalam hal ini pihak perempuanlah yang paling dirugikan.
Sebagian orang juga berpendapat bahwa orang yang melakukan pernikahan sirri, maka suami istri tersebut tidak memiliki hubungan pewarisan, artinya jika suami meninggal dunia, maka istri atau anak-anak keturunannya tidak memiliki hak untuk mewarisi harta suaminya. Ketentuan ini juga berlaku jika istri yang meninggal dunia.
Lalu bagaimana pandangan islam terhadap nikah sirri???, bolehkah orang yang melakukan nikah sirri di pidanakan???, Benarkah orang yang melakukan pernikahan sirri tidak memiliki hubuntgan pewarisan???. Pada makalah ini penulis mencoba menjelaskan tentang Nikah Sirri ditinjau dalam perspektif fikih, sosiologis dan psikologis.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Nikah
Menurut syara’ nikah berarti: Akat yang menyebabkan bolehnya melakukan istimta’(campur) dengan seorang wanita, dan ini dapat terjadi jika wanita itu bukan orang yang haram dinikahi karena hubungan nasab.1 Nikah menurut arti asli ialah hubungan seksual tetapi menurut arti majazi atau arti hukum ialah akad yang menjadikan halal hubungan seksual sebagai suaami istri atara seorang wanita dengan seorang pria. [1]
Tentang hukum melakukan perkawinan, Ibn Rasyd menjelaskan: Menurut segolongan fuqaha’ nikah itu hukumnya sunah. Golongan Zhahiriyah berpendapat bahwa nikah itu wajib. Para Malikiyah Mutakhirin berpendapat bahwa wajib untuk sebagian orang, sunnah untuk sebagian yang lainnya dan mubah untuk segolongan yang lain.
Perbedaan pendapat ini kata Ibn Rusyd disebabkan adanya penafsiran apakah bentuk kalimat perintah dalam ayat dan hadits-hadits berkenan dengan masalah ini, harus diartikan wajib, sunnah ataukah mungkin mubah. Jadi dapat dikatakan bahwa hukum nikah itu bisa Wajib, sunnah, mubah,makruh bahkan haram, ini semua tergantung dari niatnya masing-masing dan kemampuan untuk menghadapi masa baru, baik itu dari segi materi maupun non materi.[2]
B.     Nikah Sirri
Pengertian sirri berasal dari bahasa arab yang artinya adalah rahasia,[3] jadi dapat dikatakan nikah sirri adalah nikah yang di rahasiakan, dirahasiakan karena takut dan malu di ketahui umum. Padahal nikah itu harus di maklumatkan, di umumkan, di ketahui oleh orang banyak supaya menghilangkan Fitnah dan menjaga nama baik dan kehormatan.
Perkawinan sirri yang terjadi di dalam masyarakat adalah kasus yang lama sekali muncul dan hadir di tengah masyarakat, tetapi selama itu pula jeratan hukum begitu menyiksanya terutama bagi para istri. Hak dan kewajibannya dirampas oleh hukum atau Hakim. Kajian perkawinan sirri yang terjadi di dalam masyarakat termasuk kajian etika terapan, karena perkawinan sirri dipandang menurut norma hukum dan norma agama. Padahal mempelajari norma hukum atau norma agama berarti mempelajari pengaruh hukum terhadap masyarakat.
C.    Macam-Macam Nikah Sirri dalam Tinjauan Syari’ah dan Sosial
Ditinjau dari hukum syari’ah dan hukum positif yang berlaku di Indonesia, maka nikah sirri memiliki beberapa macam sebagai berikut:
1.      Nikah Yang Dilakukan Tanpa Adanya Wali.
Pernikahan seperti ini jelas halnya bahwa pernikahan yang dilakuakan tanpa wali adalah tidak sah. Sebab wali merupakan rukun sahnya pernikahan. Seperti halnya Rasulullah SAW.bersabda:
لاَ نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِّيٍ
Artinya: “Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali.[4].
Berdasarkan dalalah al-iqtidla’, kata ”laa” pada hadits menunjukkan pengertian ‘tidak sah’, bukan sekedar ’tidaksempurna’ sebagaimana pendapat sebagian ahli fikih. Makna semacam ini dipertegas dan diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah saw pernah bersabda:
أَيُّمَا اِمْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيْهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌفَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ , فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ
Berdasarkan hadits-hadits di atas dapatlah disimpulkan bahwa pernikahan tanpa wali adalah pernikahan batil. Pelakunya telah melakukan maksiyat kepada Allah swt, dan berhak mendapatkan sanksi di dunia. Hanya saja, syariat belum menetapkan bentuk dan kadar sanksi bagi orang-orang yang terlibat dalam pernikahan tanpa wali.
Secara sosial, jika pernikahan tanpa wali itu dilalalkan maka bannyak anak-anak remaja putri yang mudah melakukan nikah tanpa seizin dan sepengetahuan orang tua. sehingga timbul sikap mempermudah pernikahan yang didasari atas syahwat. Secara psikologis menikah dengan dihadiri dan direstui orang tua sebagai walinya akan menumbuhkan ketentraman batin.
2.      Pernikahan yang dialakukan tanpa dicatatkan oleh petugas PPN yang ada dibawah wewenang KUA atau disebut juga nikah dibawah tangan.
Pernikahan seperti ini menurut agama hukumnya sah akan tetapi dari segi hukum formal atau undang-undang bahwa perrnikahan tersebut tidak sah. Pada dasarnya, fungsi pencatatan pernikahan pada lembaga pencatatan sipil adalah agar seseorang memiliki alat bukti (bayyinah) untuk membuktikan bahwa dirinya benar-benar telah melakukan pernikahan dengan orang lain. Sebab, salah bukti yang dianggap absah sebagai bukti syar’iy (bayyinah syar’iyyah) adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara. Ketika pernikahan dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil, tentunya seseorang telah memiliki sebuah dokumen resmi yang bisa ia dijadikan sebagai alat bukti (bayyinah) di hadapan majelis peradilan, ketika ada sengketa yang berkaitan dengan pernikahan, maupun sengketa yang lahir akibat pernikahan, seperti waris, hak asuh anak, perceraian, nafkah, dan lain sebagainya.
Adapun yang menjadi dasar hukum bahwa pernikahan itu haruslah dicatat kepada lembaga pemerintah (KUA/catatan sipil) sebagai berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya(QS: Al-Baqarah (2):
Sungguh agama islam itu sangat sesuai dengan fitrah manusia, hal yang berkaitan dengan pencatatan pernikahan dilembaga pencatatan Negara ini sangat penting karena sejalan dengan perkembangan zaman dengan dinamika yang terus berubah maka banyak sekali perubahan-perubahan yang terjadi dan salah satu bentuk pembaruan hukum kekeluargaan islam adalah dimuatnya pencatatan perkawinan sebagai salah satu ketentuan perkawinan yang harus dipenuhi. Sebagaimana yang di atur dalam kompilasi hukum islam (KHI) pada pasal 5 ayat 1 maupun di dalam UU No. 1 tahun 1974 pasal 2 ayat 2 dinyatakan bahwa: “tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”[6]  
3.      Pernikahan yang dilakukan tanpa adanya saksi.
Pernikahan seperti ini jelas halnya bahwa perkawinanya tidak sah. Seperti halnya Rasulullah SAW bersabda yang artinya;
لاَ نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيِّ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ 
Artinya: Dari Aisyah bahwa rasul allah saw berkata tidak ada nikah kecuali denagan wali dan dua orang saksi yang adil (HR. Al-Daraquthniy)
Pernikahan yang dihadiri saksi dan wali akan tetapi tidak di I’lankan kekhalayak (penyampaian berita kepada khlayak) atau disebut juga walimah. Sebagian ulama berkata bahwa melaksanakan walimah di dalam pernikahan itu wajib hukumnya. Akan tetapi tidak semua mengatakan bahwa hal tersebut wajib. Seperti halnya hadis dibawah ini:
أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ
Artinya:  “Adakah walimah walaupun dengan seekor kambing”. (HR. Bukhari, Muslim
Ketiga proses pernikahan diatas marupakan jenis pernikahan sirri, dalam tinjauan syari’ah maka yang dibolehkan adalah nikah sirri yang nomor 2, yaitu pernikahan yang lengkap syarat rukunnya secara syari’ah akan tetapi tanpa dicatat oleh pihak pemerintah yaitu Pegawai Pencatat Nikah (PPN).
Meskipun pernikahan sirri adalah sah menurut agama. Apakah asumsi ini benar? Perlu penelitian yang serius tentang hal ini. Karena dalam hukum Islam sebuah pernikahan itu dikatakan sah apabila telah terpenuhi semua rukun dan syarat yang telah ditentukan oleh agama. Dalam banyak kasus yang terjadi, pernikahan sirri dilakukan dengan mahsud tertentu, dan tujuan pernikahan tersebut agar  tidak diketahui oleh umum. Apakah pernikah seperti ini tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam? Nabi dalam banyak hadisnya selalu mengingatkan untuk menghadiri walimah , mengi’lankan (mengumumkan) perkawinan. Tjuannya tentu agar diketahui umum bahwa antar si A dan B telah terikat tali perkawinan.
            Rasulullah Muhammad SAW bersabda :
أعلنوا هذا النّكاح واجعلوه فى المساجد واضربوا عليه بالد فوف
Artinya: Publikasikanlah pernikahan, selenggarakanlah dimasjid-masjid dan iringilah dengan rebana. H.R At-tirmidzi dari Aisyah
            Dalam hadist diatas secara tegas menyatakan tentang perintah untuk mengumumkan dan memberitahukan kepada khalayak ramai tentang terjadinya pernikahan. Tidak diperkenankan untuk dirahasiakan dar masyarakat.  Karena adanya perkawinan akan menimbulkan banyak sekali konsekwensi dibelakang.
            Jadi perlu penela’ahan yang mendalam sebelum menetapkan bahwa pernikahan sirri itu adalah sah, orang yang melakukan pernikahan sirri patut diduga ada sesuatu yang disembunyikan, sementara pernikahan itu sendiri pada dasarnya harus diberitahukan pada khalayak supaya tidak timbul fitnah, disamping itu juga dengan tujuan diketahui, apakah antara mereka tidak ada pelanggaran terhadap halangan perkawinan.
            Selanjutnya jika dibicarakan masalah dampak dari pernikahan sirri, bisa dikatakan bahwa secara umum sangat merugikan bagi isteri sebagai perempuan, baik secara yuridis maupun sosiologis. Secara yuridis dampak yang ditimbulkan antara lain:
1. Tidak dianggap sebagi istri yang sah.
2. Tidak berhak atas nafkah dan wariasan dari suami jika ia meninggal dunia
3. Tidak berhak atas harta gono-gini jika terjadi perpisahan, karena secara hukum pernikahan siri dianggap tidak pernah terjadi.
4. Secara sosiologis dampaknya adalah sebagi berikut:
5. Sulit bersosialisasi karena perempuan yang melakukan pernikan sirri telah dianggap telah tinggal serumah dengan laki-laki tanpa ikatan perkawinan (alias kumpul kebo) atau dianggap sebagi istri simpanan.
6. Jika telah mempunyai anak, maka anak hanya memiliki hubungan perdata dengan ibu dan keluaga ibu. Artinya sianak tidak memilki hubungan hukum terhadap ayahnya (pasal 42 dan pasal 43 undang-undang perkawinan , pasal 100 KHI).
7. Dalam akte kelahirannya pun status dianggap anak diluar nikah
8. Suami bebas untuk menikah lagi, karena perkawinan sebelumnya yang dibawah tangan dianggap tidak sah dimata hukum.
9. Suami bisa berkelit dan menghindar dari kewajbannya memberikan nafkah baik kepada istri maupun anak-anaknya.
            Kenyataan menunjukan adanya beberapa (bahkan banyak) perempuan yang mau dinikahi sirri, tetapi hal ini tidak bisa menunjukan bahwa  mereka memilki jalan hidup yang demikian. Oleh karena itu kesediaan perempuan untuk dinikahi sirri tidak bisa dijadikan sebagi alat untuk mau dinikahi sirri. Tidak bisa dijadikan alat untuk menggeneralisasikan bahwa setiap perempuan pada dasarnya mau dinikahi sirri.
            Sebab realitas kehidupan perempuan yang dinikahi sirri cenderung banyak mengalami kekerasan dibanding kebahagiaan. Temuan yang ditemukan Rifka Anisa[7] tahun 2003 menunjukan 210 kasus kekerasan (fisik, ekonomi, seksual maupun emosi) terhadap isteri, kebanyakan korban berstatus dimadu maupun tidak resmi serta pasangan memilki WIL.
            Upaya penyelesaian kasus-kasus semacam ini diatas sangat diperlukan. Analisis menekankan bahwa pada hakekatnya untuk kembali mengkritisi ayat-ayat yang berkaitan dengan poligami. Tujuannya bukan mempersoalkan poligami, namun keadilan yang seharusnya dijunjung tinggi dalam poligami malah sering kali malah terabaikan dalam praktek sekarang, karena itu pembolehan poligami bukan dimahsud sebagai lisensi baru bagi berlakunya poligami, melainkan lebih diarahkan upaya pentahapan secara gradual untuk menuju monogami, meskipun ada toleransi bagi adanya poligami, tetapi hal ini lebih dipandang sebagi force majeure yaitu keadaan memaksa yang membutuhkan penanganan khusus untuk kasus tertentu yang tidak dapat digeneralisasikan kebolehannya dan tetap dengan persetujuan isteri secara jujur, serta kemampuan untuk menegakkan prinsip keadilan kepada para isteri.
            Ada fenomena menarik, dalam penelusuran diinternet, berdasarkan data KUA Situbondo , diperkiran ada 3000 kasus kawin sirri didaerahnya dan untuk Jawa Timur ada lebih 30.000 kasus. Kasus serupa juga merebak disentra indrustri seperti Cikarang, Bekasi,[8] dari analisis berikutnya , penyebab maraknya pernikahan sirri dikarenakan ketidak tahuan masyarakat tentang dampak pernikahan sirri. Masyarakat miskin hanya bisa berfikir jangka pendek, yaitu terpenuhinya kebutuhan ekonomi secara cepat dan mudah. Sebagian yang lain mempercayai bahwa istri simpanan kiai, tokoh dan pejabat akan mempercepat perolehan status sebagai isteri terpandang dimasyarakat, kebutuhannya tercukupi dan bisa memperbaiki keturunnya. Keyakianan itu begitu terpatri dan mengakar dimasyarakat. Cara-cara instan memperoleh materi, keturunan, pangkat dan jabatan bisa didapat melalui pertukaran perkawinan. Dan anehnya perempuan yang dinikahi sirri merasa enak saja dengan status sirri  hanya karena dicukupi kebutuhan materi mereka, sehingga menjadi hal yang dilematis dan menjadi faktor penyebab KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) semakin subur dikalangan masyarakat miskin, awam dan terbelakang. Mereka menganggap nikah sirri sebagai takdir yang harus diterima oleh perempuan begitu saja.
            Faktor ketidaktahuan ini menyebabkan keterbelakangan masyarakat. Mereka miskin akses informasi, pendidikan dan ekonomi. Mereka tidak tahu dan tidak mengerti hukum.mereka tidak sadar hukum dan tidak tahu bagaimana mendapat perlindungan hukum apabila mengalami kekerasan terhadap anak dan perempuan. Sementara sikap masyarakat masih menganggap, nikah sirri merupakan hak privasi yang tabu diperbincangkan. Masyarakat enggan terlibat terhadap urusan rumah tangga orang. Setelah perempuan menjadi istri simpanan maka terampas hak-hak istri. Istri simpanan rentan dipermainkan oleh laki-laki tidak bertanggung jawab. Contoh, ada kasus mahasiswi pendatang menikah secara sirri, kemudian ditinggal oleh suaminya.  Si istri dating ke Pengadilan Agama (PA) daan meminta tolong. Tetapi pihak aparat tidak bisa menolong secara hukum, karena mereka melakukan nikah sirri yang tidak dicatat secara sah oleh hukum, istri sirri tidak punyakekuatan hukum. istri sirri tidak memperoleh hak hak milik berupa harta benda, dan status anak mereka. Nikah sirri tidak diakui oleh hukum. kasus yang terjadi, ada sebagian istri sirri ditinggalkan begitu saja, ditelantarkan, tidak diberi nafkah dengan cukup, tidak ada kepastian dari suami atas status mereka.
            Penyebab maraknya nikah sirri dikarenakan ketidaktahuan masyarakat terhadap dampak pernikahan sirri. Masyarakat hanya bisa berpikir jangka pendek, yaitu terpenuhi kebutuhan yang diinginkan secara cepat. Sebagian yang mempercayai, bahwa istri simpanan kiai, tokoh dan pejabat mempercepat perolehan status sebagai istri terpandang di masyarkat, kebutuhan tercukupi dan bisa memperbaiki keturunan mereka. Keyakinan itu begitu dalam terpatri dan mengakar di masyarakat. Cara-cara instant memperoleh materi, keturunan, pangkat dan jabatan bisa didapatkan melalui pertukaran perkawinan. Dan anehnya perempuan yang dinikahi sirri merasa enak saja dengan status sirri hanya karena dicukupi kebutuhan materi, terkadang mereka juga menganggap  nikah sirri sebagai takdir yang harus diterima.
            Faktor ketidaktahuan atau tidak sadar hukum sebagian masyarakat masih menganggap, nikah sirri adalah hak privasi yang tabu diperbincangkan, sehingga masyarakat enggan terlibat lebih dalam urusan rumah tangga orang. Padahal ada beberapa masalah seperti antara lain:
a. Istri tidak bisa menggugat suami, apabila ditinggalkan oleh suami
b. Penyelesaian kasus gugatan nikah sirri, hanya bisa diselesaikan melalui hukum adat
c. Pernikahan sirri tidak termasuk perjanjian yang kuat (mistaqon gholidho) karna tidak tercatat secara hukum
d. Apabila mempunyai anak, maka anak tersebut tidak memilki status, seperti akta kelahiran. Karna untuk memperoleh akta kelahiran, disyaratkan adanya akta nikah
e. Istri tidak memperoleh tunjangan apabila suami meninggal, seperti tunjangan jasa raharja
f. Apabila suami sebagi pegawai, maka istri tidak memperoleh tunjangan perkawinan dan tunjangan pension suami.

D.    Pandangan Komprehensif Islam
            Islam memandang bahwa pernikhan adalah sebuah perjanjian yang agung(Mistaqon gholidho) yang membawa konsekwensi suci atas pasangan laki-laki dan perempuan. Pernikahan bukan semata untuk melampiaskan nafsu syahwat, tetapi terkandung tujuan mulia untuk menjaga kelestarian generasi manusia. Pernikahan juga merupakan pintu gerbang menuju kehidupan keluarga yang sakinah dan sejahtera. Dalam tujuan sosiologis, kedudukan keluarga sangat urgen dalam kehidupan masyarakat secara umum. Pernikahan adalah proses menuju kehidupan sesungguhnya dalam masyarakat yang lebih luas. Setelah mereka menjadi pasangan suami istri, mereka akan menjalin relasi dan bersentuhan dengan banyak pihak sebagi konsekwensi atas kedudukan mereka sebagai bagian dari anggota masyarakat. Semakin modern masyarakat, akan lebih banyak mensyaratkan sebuah relasi antara keluarga dan masyarakat secara procedural-administratif. Dan pencatatan pernikahan adalah manifestasi prosedur-administratif yang dijalankan untuk sebuah tertib masyarakat, maka akan ada data penting menyangkut status seseorang sehingga berbagi penyelewengan status dapat dieliminasi.
            Undang undang perkawinan no 1 tahun 1974, adalah hukum positif yang mengatur proses pernikahan di Indonesia. Disamping segala persyaratan formil sebagaimana yang telah disyaratkan Islam, ada ketentuan tambahan yang terdapat dalam undang undang itu yang mengatur secara administrasi sebuah proses pernikahan. Dengan tujuan pernikahan yang tercatat dan terdata, akan lebih memudahkan control terhadap pelaksanaan syariat dalam pernikahan warga masyarakat. Hak perempuan dan anak akan lebih terjamin dalam sebuah pernikahan yang legal secara hukum, sehingga hal in sesuai dengan semangat kemaslahatan yang menjadi syariat Islam.

E.     Perkawinan Tanpa Payung Hukum
Sejak adanya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sampai saat, UU ini ini secara hukum formal telah mengatur perkawinan bagi masyarakat Indonesia dengan latar belakang agama dan budaya yang berbeda. Namun demikian Undang-undang tersebut banyak sekali dilanggar pengakuan dari ayahnya, karena tidak ada bukti hitam di atas putih dari pernikahan itu.
Menurut konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita, atau yang dikenal dengan konvensi wanita, kasus nikah sirri dapat dikategorikan sebagai tindak kekerasan terhadap perempuan, karena dalam nikah sirri hak-hak perempuan tidak terlindungi oleh hukum. Begitu pula anak dari hasil nikah sirri, melanggar UU RI No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yaitu pasal 5 dan 7.
Secara psikologis, kaum perempuan mengalami penderitaan karena diabaikan oleh suami sirrinya, yang karena kelonggaran aturan nikah sirri tidak mau mengakui pernikahannya atau lebih buruk lagi tidak mengakui anak yang dihasilkan dari nikah sirritersebut. Niikah sirri sah secara agama dan tidak dilakukan pencatatan oleh KUA, namun nikah sirri tidak sah menurut hukum yang  berlaku di negara RI karena yaitu melanggar pasal 1 dan 2 UU RI No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
F.     Perkawinan Tanpa Payung Hukum
Sejak adanya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sampai saat, UU ini ini secara hukum formal telah mengatur perkawinan bagi masyarakat Indonesia dengan latar belakang agama dan budaya yang berbeda. Namun demikian Undang-undang tersebut banyak sekali dilanggar
Oleh masyarakat. Hal ini dapat terlihat misalnya dari kasus masih banyaknya nikah sirri yang dilakukan oleh sebagian masyarakat Indonesia walaupun dilakukan secara sembunyi-sembunyi.

G.    Nikah Sirri menurut UU RI No. 1 Tahun. 1974
           Penulis sudah menyampaikan di atas, bahwa kata sirri secara etimologi berasal dari bahasa Arab assirru yang artinya rahasia (Munawir, 1997: 625). Pengertian nikah sirri adalah nikah yang dilaksanakan hanya sesuai dengan ketentuan agama, tidak dilakukan pengawasan dan pencatatan oleh petugas KUA sehingga tidak memperoleh akta nikah. Bahwa nikah di bawah tangan adalah suatu pernikahan yang dilakukan oleh orang-orang Islam Indonesia yang dilakukan dengan memenuhi rukun nikah dan syaratnya, tetapi tidak didaftarkan pada Pegawai Pencatat Nikah (PPN), seperti diatur dan ditentukan oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, pasal 2 ayat 2, nikah sirri dianggap tidak sah, karena tidak dicatat menurut perundang- undangan yang berlaku (tidak mempunyai akta nikah)

__________________________________________________________________________________

[1] Muh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), hal. 1.
[2] Lebih jelasnya lihat, Abdul Rahman Ghazaly , Fikih Munakahat,  ( Jakarta: Prenanda Media, 2003), hal. 18-21.
[3]http://kamus.javakedaton.com/arabindonesia.php?submit=%D8%A8%D8%AD%D8%AB&s=%D8%B3%D8%B1%D9%91, diakses pada tanggal 29 Desember 2015 pukul 20.20 wib
[4] Hadir Riwayat yang lima kecuali Imam An Nasaaiy, lihat, Imam Asy Syaukani, Nailul Authar VI: 230 hadits ke 2648
[5] ”. Hadits  riwayat yang lima kecuali Imam An Nasaaiy. Lihat, Imam Asy Syaukaniy, Nailul Authar VI: 230 hadits ke 2649
[6] Dr. H. Amiur  Naruddin , MA, hukum perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2004) halm. 121-123
[7] Litbang (penelitian dan pengembangan) rifka anisa, woman crisis center (WCC), 2003;5-8
[8] Pannita wordprees.”nikah sirri” tersedia di website; http//www.pannita.wordprees.com/2007/02/nikah sirri/htm, diakses peada tanggal 28 Desember 2015 pukul: 23.00 wib

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CARA UNINSTAL PES 2013 YANG TIDAK BISA LEWAT CONTROL PANEL

Cara Membuat Website Sederhana Dengan PHP dan MySQL

Cara Membuka Kembali Tab Browser Yang Tertutup Tidak Sengaja

Tutorial langkah-Langkah Instalasi SmartPLS 3 Full Version

Perbedaan 32-Bit dan 64-Bit Serta Kekurangan dan Kelebihannya

Resolusi 2024, Siapa yang mau berubah?

Tips - Beginilah Solusi Mengatasi IDM ERROR (Gagal Download File)