Tahukah - Pernikahan Dini

PERNIKAHAN DINI

Sudah cukup banyak artikel pernikahan dini yang kita temukan di berbagai media massa. Sebetulnya, pernikahan seperti apa yang bisa dikatakan pernikahan dini? Orang yang menikah pada usia di bawah 20 tahun, memang bisa dikategorikan menikah dini. Sedangkan menikah pada usia di bawah 25 tahun mungkin bisa dikategorikan pernikahan dini, mungkin juga tidak. Tapi menilik angka perceraian yang terjadi pada pernikahan orang-orang yang berusia di bawah 25 tahun, apakah akibat dari pernikahan dini? Bila tidak ada kaitan antara pernikahan dini dan tingkat perceraian, maka mengapa orang-orang melakukan pernikahan dini? Salah satu alasan untuk menikah dini adalah menghindari zina. Hanya dengan alasan inilah begitu banyak pasangan yang akhirnya tidak bisa menikmati masa bulan madu dalam pernikahan. Komunikasi yang terjalin antara orang yang saling mencintai, tidak terjadi. Yang ada adalah komunikasi ala tarzan dan ala singa (saling cakar). Sikap egois yang masih sangat tinggi ditambah keadaan ekonomi yang belum stabil, apalagi bila keduanya masih sekolah, maka semakin runyamlah kondisi fondasi pernikahan yang terjadi hanya sekedar untuk menghindari zina tadi. Yang ada malah mungkin akan terjadi perselingkuhan. Masing-masing individu masih ingin menikmati kebebasan. 

Ketertekanan mental dan ekonomi akan semakin memicu pertengkaran. Jadi, masihkah relevan pernikahan yang dilakukan hanya sekadar untuk menghindari zina? Pernikahan dini yang dilakukan oleh pasangan yang belum memiliki ilmu pernikahan, ilmu keluarga, dan ilmu melahirkan generasi hebat, hanya akan membuat stres baik pasangan suami istri maupun keluarga besar dari kedua belah pihak. Tidak bisa dikatakan bahwa seseorang yang telah kuliah memiliki pengetahuan yang cukup tentang ilmu yang menyangkut kehidupan keluarga. Pertama, ilmu ini tidak diajarkan di sekolah. Kedua, orang tua terlalu sibuk mencari uang hingga tidak bisa berkomunikasi secara intens dan spesifik hanya untuk membahas persoalan ini. Ketiga, berkeluarga bukan hanya melulu urusan seks. Hal ini yang terkadang membuat pasangan muda kaget dan tidak siap dengan perubahan yang ada. Keempat, orang tua pun kadang tidak mampu menunjukkan cara berkomunikasi yang baik dengan pasangan masing-masing. Yang ada malah contoh komunikasi dengan nada tinggi dan saling menyalahkan. Kalau pernikahan dini ini tetap terjadi akibat dari salah jalan alias pergaulan yang terlalu bebas, biasanya kehidupan keluarga baru tersebut akan semakin runyam. Selain belum tentu mereka melakukan itu atas dasar cinta yang tulus (tentunya) juga keterpaksaan yang membuat mereka menikah akan selalu menjadi benalu dalam pernikahan tersebut. Memang tidak sedikit pernikahan dini yang berakhir bahagia. Tetapi itu mungkin berlaku pada pasangan yang benar-benar siap secara mental untuk menikah dan sangat sadar akan makna pernikahan mereka. Akan tetapi di zaman yang penuh dengan godaan seperti sekarang ini, pernikahan dini hendaknya tidak terjadi. Apalagi hanya karena terpaksa. Korban yang paling menderita adalah wanita dan anak-anak. Kaum laki-laki mungkin tidak terlalu merasakan atau tak mau merasakan hal ini. Tapi bagi wanita, pernikahan dini yang gagal akan menimbulkan luka batin yang sangat dalam. Luka batin ini juga akan berdampak pada anak-anaknya kelak. Kesimpulannya adalah pikirkan matang-matang sebelum memutuskan untuk menikah dini.

PENGERTIAN PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG

Dalam pasal 1 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan , mendefinisikan perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam penjelasan pasal 1 tersebut menyebutkan bahwa perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohaniaan, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi unsur bathin/rokhani juga mempunyai peranan yang penting. Membentuk keluarga yang bahagia rapat hubungan dengan keturunan, yang pula merupakan tujuan perkawinan pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua. Sedangkan dalam pasal 2 Kompilasi Hukum Islam pasal 2 menyebutkan: Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqon gholiidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Dari kedua definisi tersebut, ada satu kesatuan pemahaman antara perkawinan dan pernikahan. Keduanya menyiratkan bahwa dalam perkawinan bukan hanya ikatan fisik antara laki-laki dan perempuan sebagai hubungan horisontal. Tetapi perkawinan juga mempunyai dimensi horisontal, sebagai ikatan yang disaksikan bahkan berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karena perkawinan bukanlah perbuatan yang ringan, maka pelaksanaannyapun bukan hal yang mudah.

PERKAWINAN BAGI ANAK DI BAWAH UMUR

Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan: “Perkawinan hanya diizinkan” jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun”.

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA): “Yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”. Dari bunyi pasal-pasal tersebut di atas, ada “ketidaksepahaman” antara UU Perkawinan dan UU Perindungan Anak, tentang yang dinamakan anak. UU Perkawinan walau tidak secara tegas-tegas mendefinisikan batas usia anak, tetapi UU Perkawinan menyiratkan bahwa usia anak- anak adalah untuk perempuan adalah di bawah 16 tahun, sedangkan untuk laki-laki adalah 19 tahun. Sedangkan UUPA tanpa membedakan jenis kelamin, menyebut dengan tegas-tegas bahwa anak adalah di bawah usia 18 tahun. Masalah kemudian muncul jika seorang anak laki-laki berusia 18 tahun hendak menikah.Menurut UUPA anak tersebut dikatagorikan dewasa, tetapi UU Perkawinan anak laki-laki yang berusia 18 tahun masih harus mengajukan permohonan dispensasi kawin. Sampai saat ini, jika ini terjadi, maka khusus di Bantul, pihak KUA tetap memberlakukan UU Perkawinan, dimana anak laki-laki tersebut tetap harus mengajukan permohonan dispensasi kawin.

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB PERNIKAHAN DINI

Dari banyak kasus pernikahan dini yang terjadi di Bantul, umumnya disebabkan karena :

Faktor Pendidikan

Peran pendidikan anak-anak sangat mempunyai peran yang besar. Jika seorang anak putus sekolah pada usia wajib sekolah, kemudian mengisi waktu dengan bekerja. Saat ini anak tersebut sudah merasa cukup mandiri, sehingga merasa mampu untuk menghidupi diri sendiri.

Hal yang sama juga jika anak yang putus sekolah tersebut menganggur. Dalam kekosongan waktu tanpa pekerjaan membuat mereka akhirnya melakukan hal-hal yang tidak produktif. Salah satunya adalah menjalin hubungan dengan lawan jenis, yang jika diluar kontrol membuat kehamilan di luar nikah.

Disini, terasa betul makna dari wajib belajar 9 tahun. Jika asumsi kita anak masuk sekolah pada usia 6 tahun, maka saat wajib belajar 9 tahun terlewati, anak tersebut sudah berusia 15 tahun. Di harapkan dengan wajib belajar 9 tahun (syukur jika di kemudian hari bertambah menjadi 12 tahun), maka akan punya dampak yang cukup signifikan terhadap laju angka pernikahan dini.

Faktor Pemahaman Agama

Saya menyebutkan ini sebagai pemahaman agama, karena ini bukanlah sebagai doktrin. Ada sebagian dari masyarakat kita yang memahami bahwa jika anak menjalin hubungan dengan lawan jenis, telah terjadi pelanggaran agama. Dan sebagai orang tua wajib melindungi dan mencegahnya dengan segera menikahkan anak-anak tersebut.

Ada satu kasus, dimana orang tua anak menyatakan bahwa jika anak menjalin hubungan dengan lawan jenis merupakan satu: “perzinahan”. Oleh karena itu sebagai orang tua harus mencegah hal tersebut dengan segera menikahkan. Saat mejelishakim menanyakan anak wanita yang belum berusia 16 tahun tersebut, anak tersebut pada dasarnya tidak keberatan jika menunggu dampai usia 16 tahun yang tinggal beberapa bulan lagi. Tapi orang tua yang tetap bersikukuh bahwa pernikahan harus segera dilaksanaka. Bahwa perbuatan anak yang saling sms dengan anak laki-laki adalah merupakan “zina”. Dan sebagai orang tua sangat takut dengan azab membiarkan anak tetap berzina.

Faktor telah melakukan hubungan biologis

Ada beberapa kasus, diajukannya pernikahan karena anak-anak telah melakukan hubungan biologis layaknya suami istri. Dengan kondisi seperti ini, orang tua anak perempuan cenderung segera menikahkan anaknya, karena menurut orang tua anak gadis ini, bahwa karena sudah tidak perawan lagi, dan hal ini menjadi aib.

Tanpa mengenyampingkan perasaan dan kegalauan orang tua, saya menganggap ini sebuah solusi yang kemungkinan di kemudian hari akan menyesatkan anak-anak. Ibarat anak kita sudah melakukan suatu kesalahan yang besar, bukan memperbaiki kesalahan tersebut, tetapi orang tua justru membawa anak pada suatu kondisi yang rentan terhadap masalah. Karena sangat besar di kemudian hari perkawinan anak-anak tersebut akan dipenuhi konflik.

Hamil sebelum menikah
Ini saya pisahkan dari faktor penyebab di atas, karena jika kondisi anak perempuan itu telah dalam keadaan hamil, maka orang tua cenderung menikahkan anak-anak tersebut. Bahkan ada beberapa kasus, walau pada dasarnya orang tua anak gadis ini tidak setuju dengan calon menantunya, tapi karena kondisi kehamilan si gadis, maka dengan terpaksa orang tua menikahkan anak gadis tersebut. Bahkan ada kasus, justru anak gadis tersebut pada dasarnya tidak mencintai calon suaminya, tapi karena terlanjur hamil, maka dengan sangat terpaksa mengajukan permohonan dispensasi kawin. Ini semua tentu menjadi hal yang sangat dilematis. Baik bagi anak gadis, orang tua bahkan hakim yang menyidangkan. Karena dengan kondisi seperti ini, jelas-jelas perkawinan yang akan dilaksanakan bukan lagi sebagaimana perkawinan sebagaimana yang diamanatkan UU bahkan agama. Karena sudah terbayang di hadapan mata, kelak rona perkawinan anak gadis ini kelak. Perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan rasa cinta saja kemungkinan di kemudian hari bias goyah,apalagi jika perkawinan tersebut didasarkan keterpaksaan (baca; kehamilan).

DAMPAK DARI PERNIKAHAN DINI

Dampak dari pernikahan dini bukan hanya dari dampak kesehatan, dimana pernikahan di bawah umur pada anak perempuan mempunyai penyumbang terbesar terhadap kanker serviks. Tetapi punya dampak juga terhadap kelangsungan perkawinan. Perkawinan yang tidak didasari persiapan yang matang, mempunyai dampak pada terjadinya perceraian. Banyak sekali perkawinan-perkawinan ini harus berakhir kembali ke pengadilan dalam waktu yang tidak lama setelah perkawinan, untuk perkara yang berbeda yaitu perceraian. Di samping itu, perkawinan ini juga menjadi semacam efek domino, dimana dari pernikahan dini, dimana orang tua tersebut tidak menyadari dampak dari pernikahan dini tersebut, kemudian tidak member pemahaman atau menyalurkan dampak dari pernikahan ini kepada turunannya, akan juga menghasilkan anak-anak yang akhirya juga melaksanakan perkawinan dini. Kesadaran orang tua itu baru muncul saat anak-anak telah menghadapi masalah,yang kemudian mengharuskan mengajukan perkara sebagamana dirinya juga pernah mengalami. Tapi apa hendak di kata, penyesalan muncul pasti di belakang peristiwa. Ini mengibaratkan, jika pola ini tidak kita redam, hanya menghaslkan “lingkaran setan”, dimana harus segera kita hentikan dan keluar dari lingkaran tersebut untuk membentuk tatanan yang baru.

ANAK ADALAH TANGGUNG JAWAB BERSAMA

Anak-anak,bukanlah anak-anakmu.
Mereka adalah anak-anak kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri.
Mereka terlahir melalui engkau,tapi bukan dirimu.
Meskipun mereka ada bersamamu,tapi mereka bukan milikmu.
Pada mereka engkau dapat memberikan cintamu,tapi bukan pikiranmu.
Karena mereka memiliki pikiran mereka sendiri.
Engkau bisa merumahkan tubuh-tubuh mereka,tapi bukan jiwa mereka
Karena jiwa-jiwa itu tinggal di rumah hari esok yang tak dapat engkau kunjungi,
Meskipun dalam mimpi.
Engkau bisa jadi mereka,tapi jangan coba-coba menjadikan mereka,
Seperti engkau.
Karena hidup bukan berjalan mundur.
Dan tidak pula berada di masa lalu.........(KhalilGhibran)

Puisi indah dari Khalil Gibran ini menggambarkan sosok anak.Bahwa anak adalah lahir dari kita tetapi bukan milik kita. Mereka milik masa depan mereka, tapi kita sebagai orang tua mempunyai tanggung jawab terhadap masa depan mereka. Puisi ini mempunyai pesan yang sama dengan UUPA pasal 26 tentang kewajiban dan tanggung jawab orang tua. Dan secara khusus pula pasal 26 huruf (c) menyebutkan bahwa: “orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak”. Tapi kehidupan anak bukan semata hanya di lingkungan keluarga, tapi anak juga punya lingkungan sekolah dan masyarakat. Maka seyogyanya anak-anak menjadi tanggung jawab kita bersama untuk menghantarkannya ke masa depan yang baik. Dengan demikian, sudah saatnya kita menyatukan persepsi bahwa bukan hanya orang tua yang berkeajiban dan bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak, tetapi hal tersebut telah menjadi tanggung jawab bersama. Dan jika persepsi ini bisa kita bangun bersama, maka optimisme untuk membangun generasi yang cemerlang tentulah sebagai keniscayaan. Dan sampai bulan Maret 2009 Perkara Dispensasi Kawin sudah pada 23 perkara. Jika ini kwartal pertama, maka bisa diasumsikan sampai akhir tahun perkara bisa sampai di angka 92 perkara. Hal ini berarti kenaikan menjadi 76 %. Dengan kenaikan sangat tinggi, tak menutup kemungkinan pada tahun 2010 perkara dispensasi kawin akan sampai di angka melebihi 100 anak. Angka ini jauh melebihi angka perkara dispensasi kawin dari daerah lain. Pengadilan Agama Makassar yang berada di kota besar, angka permohonan dispensasi kawin setiap tahunnya tidak melebihi angka 10 perkara. Begitu juga kabupaten-kabupaten lain, angkatidak setinggi di kabupaten Bantul. Indikasi dari angka ini bisa menunjukkan bahwa pihak KUA betul-betul taat pada aturan dengan tidak mau “kompromi” dengan umur calon pengantin, maka angka yang kita dapatkan adalah betul-betul angka riil pernikahan dini yang terjadi di masyarakat. Tetapi sebaliknya, jika masih ada pihak KUA yang mau “kompromi”, maka angka yag ada hanyalah sebuah gunung es. Dimana yang terjadi di masyarakat jauh melebihi permohonan dispensasi kawin yang ada di Pengadilan Agama Bantul.

HAKIM BUKANLAH PEJABAT PENGETOK PALU

Sengaja masalah ini saya kemukakan, karena dalam praktek sehari-hari hakim ketika diajukan perkara permohonan dispensasikawin menghadapi masalah yag sangat dilematis. Satu sisi sebagai lembaga yudikatif,harus menegakkan hukum. Tetapi di sisi lain terbentur dengan fakta: “mau tak mau harus menikah” (baca: hamil terlebih dahulu). Jika ini yang terjadi maka hakim cenderung berpedoman pada adagium: “mengutamakan kemaslahatan dan menghindari kemudharatan”. Konsekuesi dari sikap hakim ini akhirnya cenderung dimanfaatkan sebagian masyarakat, untuk melakukan hubungan biologis yang menyebabkan hamil, dan kemudian mengajukan dispensasi ke pengadilan. Tentu hal ini sangat disayangkan. Tetapi di sisi lain masyarakat juga “mengecap” bahwa proses di pengadilan adalah hanyalah formalitas administratratif. Dan stigma ini tentu tidak benar, karena di kuartal akhir permohonan dispensasi kawin ada 3 perkara yang ditolak oleh pengadilan, salah satunya perkara yang terjadi di awal makalah ini.

SOLUSI PENYELESAIAN MASALAH

Dari uraian-uraian di atas, dengan angka-angka perkawinan dini yang begitu besar, maka sudah selayaknya kita semua berbuat untuk menahan laju peningkatan pernikahan dini di wilayah Bantul.

Ada beberapa alternatif yang paling mudah dan murah, yaitu:

1. Penyuluhan Hukum. Peyuluhan hukum utamanya ditujukan kepada orang tua dan anak-anak. Dan kepada anak-anak bentuknya bukan seperti seminar yang membosankan, tetapi melalui permainan yang lebih keratif dan komunikatif. Sehingga pesan dari penyuluhan hukum ini bisa sampai.

Dalam penyuluhan hukum, juga menggabungkan dengan aspekaspek kesehatan dan psikologis jika terjadi pernikahan dini. Dengan penyuluhan maka, akan tumbuh kesadaran masyarakat untuk menikah di usia matang.

2. Pemanfaata lembaga-lembaga kemasyarakatan. Berkembangnya lembaga kemasyarakatan sebagai kader dan corong pembangunan,tentu bisa juga turut mengembangkan kesadaran hukum khususnya kesadaran masyaraat untuk menikah di usia matang.

Lembaga-lembaga yang selama ini telah berhasil menggiatkan masyarakat dalam berbagai sektor, juga bisa kita minta peran sertanya untuk membangun kesadaran akan pentingnya menikah di usia matang.

Model peran serta lembaga kemasyarakatan tentu harus disiapkan secara matang, lagi-lagi bukan semacam pelajaran di kelas, yang urang bisa berdampak. Tetapi mungkin berbentuk “simulasi”sehingga memudahkan masyarakat memahami dari program tersebut.

3. Membuat gerakan bersama : “Menikah di usia matang Ini hal yang paling sulit jika dilakukan secara bersama. Tetapi menjadi mudah dan ringan jika dimulai dari lingkup terkecil. Dari diri sendiri, dari lingkungan keluarga kecil,dari lingkungan keluarga yang lebih luas hingga tentu meyebar.

Hal ini tentu dimulai dengan rasa tanggung jawab diri, menjadi tanggung jawab bersama, bahwa hal yang besar tentu dimulai dari hal yang kecil.

PERNIKAHAN DINI VS PERZINAHAN SEJAK DINI

Beberapa hari ini kita sering melihat di siaran – siaran berita TV betapa sibuknya pemerintah membahas tentang pernikahan dini. Tepatnya setelah kasus Syeh Puji mencuat ke permukaan. Seolah – olah pernikahan dini di negeri ini baru saja terjadi. Kalau kita mau membuka mata dan telinga pernikahan dini sudah terjadi berpuluh – puluh tahun yang lalu, terutama di daerah – daerah pedesaan. Sama seperti pernikahan yang tidak dini (pernikahan dengan usia yang sudah matang), diantara pernikahan itu pastilah ada yang sukses dan tidak sedikit yang mengalami kegagalan, itu hal yang biasa terjadi.

Beberapa alasan para orang tua menikahkan anaknya di usia dini :

1. Karena anaknya mengalami salah pergaulan sehingga hamil di usia dini.
2. Karena budaya warga setempat untuk menikahkan anak di usia dini.

Kalau melihat kasus Syeh Puji mungkin ada beberapa alasan yang kalau boleh kita jujur kita hanya bisa menebak – nebak tanpa tahu sebab yang pasti mengapa pernikahan Ulfa – Syeh Puji bisa terjadi. Alasan pernikahan mereka mungkin disebabkan :

1. Kedua orang tua Ulfa tergiur dengan kekayaan Syeh Puji sehingga merelakan anaknya untuk dinikahi oleh orang yang pantas menjadi bapak dari anaknya.
2. Kedua orang tua Ulfa mempunyai hutang kepada Syeh Puji, mirip kisah Siti Nurbaya.
3. Mungkin Ulfa sendiri yang tergiur oleh kekayaan Syeh Puji.
4. Tidak menutup kemungkinan memang si Ulfa menyimpan rasa sayang dan cinta kepada Syeh Puji. Wallahu A’lam. Hanya Allah dan mereka yang mengetahui.

Beberapa alasan pemerintah melarang pernikahan dini terjadi sampai – sampai akan dibuatkan Undang – Undang tentang pernikahan siri.

1. Katanya para pakar, di usia dini secara fisik organ reproduksi belum berkembang baik.
2. Katanya lagi secara mental anak di usia dini belum siap untuk menikah.
3. Dari sebab di atas kata mereka lagi (para pakar), sangat rentan menjadi penyebab kegagalan pernikahan di usia dini.

Pada kenyataanya kita tahu :
• Banyak anak di Usia SMP ( + 12 – 14 tahun ) yang sudah kehilangan keperawanannya alias memanfaatkan alat reproduksinya bukan sekedar untuk buang air kecil tetapi untuk nyobain hal – hal yang lebih nikmat.
• Atau mungkin kalau itu terlalu berlebihan, paling tidak anak usia SMP sekarang ini sudah berani mencoba enaknya berhubungan dengan lawan jenis, enaknya ciuman, enaknya …..
• Jika di SMP saja mereka sudah berani cobain hal – hal yang mendekati zina, tak jarang kita melihat anak di bangku SMA yang dikeluarkan karana perutnya buncit akibat sengatan laki – laki tidak bertanggung jawab.
• Atau banyak dari mereka (pelajar SMP/SMA) yang meninggal setelah gagal dalam proses aborsi.
• Jika pergaulan para pelajar SMP/SMA sudah begitu rusaknya bagaimana dengan kehidupan para Mahasiswa Indonesia yang katanya lebih terpelajar dan bisa dikatakan lebih dewasa. Tapi mereka para mahasiswa lebih gila lagi dalam bergaul, mereka layaknya pasangan suami istri yang tiap hari melakukan hubungan zina di kamar kos – kosan tanpa rasa malu dengan teman kos yang lain karena mungkin satu kos melakukan hal sama.
Kalau mereka para ahli yang katanya orang – orang pinter bilang anak diusia dini belum siap menikah karena alat reproduksinya belum matang. Tentulah pendapat mereka salah besar, karena pada kenyataannya alat reproduksi mereka sudah sangat siap digunakan untuk berziana. Tapi anehnya pemerintah seakan menutup mata dengan kejadian – kejadian itu. Seringnya ditemukan video handphone mesum seakan tak membuat pemerintah tergerak hatinya untuk melakukan sesuatu yang lebih signifikan. Misalnya pemerintah menetapkan hukuman kepada orang tua yang anaknya ketahuan hamil sebelum menikah di masa sekolah. Dengan itu mungkin akan membuat orang tua lebih perhatian kepada anak. Karena pergaulan bebas di kalangan remaja tidak mutlak salah dari anak, tepi peran orang tua di sini sangatlah penting. Anehnya pemerintah sibuk merancang undang – undang tentang pernikahan siri yang jelas – jelas dalam agama dihalalkan walau terkadang memang ada beberapa orang yang menyalah gunakan. Padahal ada masalah yang lebih serius terjadi di kalangan kehidupan remaja Indonesia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CARA UNINSTAL PES 2013 YANG TIDAK BISA LEWAT CONTROL PANEL

Cara Membuka Kembali Tab Browser Yang Tertutup Tidak Sengaja

Cara Membuat Website Sederhana Dengan PHP dan MySQL

Tutorial langkah-Langkah Instalasi SmartPLS 3 Full Version

Perbedaan 32-Bit dan 64-Bit Serta Kekurangan dan Kelebihannya

Catatan - Basis Data #1

Resolusi 2024, Siapa yang mau berubah?